Sunday, December 20, 2009

Review Article

Trade and Investment Liberalization Effects on SME Development:
A literature Review and a Case Study of Indonesia

Article By : Tulus Tambunnan

Dampak perbaikan dari kebijakan perdagangan dan investasi internasional pada perekonomian Indonesia, berfokus pada pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dari industri pabrikasi domestik telah dipelajari secara cukup ekstensif. Bagaimanapun, implikasi dari perbaikan kebijakan perdagangan dan investasi pada pertumbuhan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Indonesia tetap kurang penelitian baik UKM di Indonesia dan dimanapun. Pembelajaran ini kemudian mencoba berkontribusi untuk mengisi kekosongan ini dengan menentukan dampak dari perbaikan kebijakan perdagangan dan investasi internasional, khususnya dalam periode setelah krisis pada pertumbuhan UKM di Indonesia.
Kebijakan perdagangan dan investasi Internasional telah menjalani perubahan mendasar di Indonesia setelah melewati dua dekade. Liberalisasi perdagangan yang Signifikan mulai pada tahun 1986 dan sejak 1994 Indonesia secara signifikan mengurangi tarif MNF-nya diterapkan dari rata-rata tidak tertimbang dari sekitar 20% pada tahun 1994 menjadi 9.5% pada tahun 1998. Pada tahun 1998, tarif pada item-item makanan telah berkurang menjadi maksimum 5%. Disamping tarif, Indonesia telah menghapus semua halangan non-tarif dan pembatasan ekspor. Sejak permulaan krisis keuangan Asia tahun 1997/98, Indonesia juga telah menata ulang rezim perdagangannya dalam komoditi utama pertanian (kecuali beras, untuk alasan sosial), mengakhiri produksi dan perdagangan monopoli dalam industri menengah tertentu (semen, tripleks, rotan) dan mengurangi pajak ekspor pada kayu.
Sehubungan dengan perbaikan perdagangan internasional dimana perbaikan dalam perlakuan investasi asing, dengan semua pembatasan kepemilikan dihapuskan pada tahun 1995. Pembukaan dari semua industri pada investasi asing langsung (FDI) antara 1993 dan 1995 membantu menarik jumlah besar FDI. Berdasarkan data persetujuan FDI dari National Investment Coordinating Board (BKPM), pada tahun 1995 persetujuan baru FDI (dalam unit proyek) meningkat hampir 30% dari data 1993, padahal pada tahun 1993 telah meningkat sekitar 10% dari data tahun 1990. Pada tahun 2004, pemerintah mendirikan Inisiatif Perbaikan Kebijakan Investasi yang bertujuan sebagai pendorong dan fasilitator dari investasi sektor swasta melalui perbaikan dan implementasi yang transparan, dapat diprediksi, kebijakan berorientasi pasar diterapkan serentak baik kepada investor asing maupun domestik. Dalam hal ini Pemerintah baru-baru ini telah mengadopsi perubahan kebijakan utama, termasuk perkenalan undang-undang investasi baru. Undang-undang perusahaan yang baru ini merupakan prinsip kebijakan investasi berorientasi pasar dan dasar penetapan jaminan seperti perlakuan yang sama dari investor Indonesia dan asing kapanpun menjadi mungkin, proteksi terhadap pengambilalihan investasi. Investor diijinkan untuk berinvestasi dalam berbagai sektor ekonomi kecuali dalam aktivitas perusahaan, yang terdaftar pada " Daftar Negatif ". Disana tidak ada pembatasan terhadap ukuran investasi, sumber pendanaan atau apakah produk didesain untuk ekspor atau pasar domestik.

Wilayah Asia-Pasifik memberikan bukti dari keuntungan perdagangan eksternal (ekspor dan impor) dan kebijakan liberalisasi investasi. Dengan kelanjutan pertumbuhan dalam perdagangan eksternal dan aliran masuk dari investasi asing langsung (FDI), Wilayah ini melanjutkan untuk menghasilkan tingkat tertinggi dari pertumbuhan ekonomi di dunia, yang terlihat pada rata-rata penurunan kemiskinan sekitar 12.5 persen dalam wilayah ini pada awal tahun 2000 jika dibandingkan terhadap awal tahun 1990an. Melalui perdagangan eksternal dan FDI, wilayah selanjutnya akan terintegrasi kedalam perekonomian global dan akan memperoleh lebih banyak keuntungan (Bonapace, 2005).

Tidak diragukan bahwa gelombang dalam ekspor barang hasil pabrikasi dari Indonesia telah terjadi pada akhir tahun 1980an sampai pertengahan tahun 1990an FDI meningkat dengan tajam dalam negara. Sebelumnya beberapa pembelajaran telah mengindikasikan bahwa multinational enterprises (MNEs) dimana menjadi sumber yang besar dari gelombang ekspor hasil pabrikasi dan juga membuat kontribusi penting terhadap perubahan dalam komposisi ekspor Indonesia. Kebijakan perdagangan di Indonesia juga memainkan peranan penting dalam pertumbuhan ekspor hasil pabrikasi negara dan perubahan dalam komposisi ekspor hasil pabrikasi. James dan Ramstetter (2005) menekankan bagaimana proteksi yang rendah yang diadopsi oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1980an dengan perhatian pada industri tertentu yang menjadi kunci fasilitator atas pertumbuhan ekspor yang cepat dari industri tersebut. Meskipun mengalami kemunduran dalam pertumbuhan ekspor dimulai pada tahun 1996 dan dilanjutkan pada 1998 disertai krisis keuangan Asia, Indonesia kembali pada perbaikan liberalisasi perdagangan berorientasi ekspornya. Setelah krisis, banyak MNEs mengekspansi operasi mereka di Indonesia (Takii dan Ramstetter 2004).

Dunia secara keseluruhan, hubungan melalui perbaikan perdagangan akan membawa keuntungan secara luas sebagai berikut: meningkatkan sumber; akses terhadap teknologi yang lebih baik, bahan baku dan barang menengah; skala dan ruang lingkup perekonomian; persaingan domestik labih baik; tersedianya pertumbuhan eksternalitas yang menguntungkan seperti transfer ilmu pengetahuan dan banyak lainnya.

Akhir-akhir ini, banyak perhatian telah tercurahkan pada efek makroekonomi dari perbaikan perdagangan internasional. Sekarang pertumbuhan literatur empiris pada efek liberalisasi perdagangan internasional pada tingkat disagregat disana kecil. Secara teoritis, perbaikan menuju perdagangan liberalisasi internasional dapat mempengaruhi (secara positif atau negatif) perusahaan individu lokal dalam empat cara utama:

• Dengan peningkatan persaingan: mengurangi tarif, kuota dan halangan non-tarif impor lainnya mempunyai efek peningkatan persaingan asing dalam pasar domestik, dan ini diharapkan mampu menekan perusahaan lokal yang tidak efisien/tidak produktif untuk mencoba meningkatkan produktivitas mereka dengan menghilangkan pemborosan, memanfaatkan skala dan ruang lingkup ekonomi eksternal, dan banyak mengadopsi teknologi inovatif, atau menutup perusahaan. Keterbukaan perekonomian terhadap perdagangan internasional ini juga terlihat peningkatan ukuran penanaman (i.e. skala efisiensi), sebagai perusahaan lokal mengadposi teknologi, manajemen, organisasi, dan metode produksi yang efisien;

• Dengan menurunkan biaya produksi dalam kaitannya dengan impor bahan baku yang lebih murah: keuntungan perusahaan lokal dari biaya bahan baku yang murah, hal ini membawa mereka untuk bersaing secara lebih efektif baik dalam pasar domestik melawan impor dan ekspor dalam pasar;

• Dengan peningkatan kesempatan ekspor: pembukaan atas persaingan internasional tidak hanya akan mengurangi atau meningkat efisiensi dalam perusahaan domestik tetapi ini juga akan merangsang ekspor mereka;

• Dengan mengurangi ketersediaan dari bahan baku lokal: Penghapusan pembatasan ekspor pada bahan mentah yang tidak diproses akan meningkatkan ekspor dari item-item pada biaya industri lokal.

Dari mereka yang mengekspor langsung, tidak semua dari mereka melakukannya melalui pengapalan untuk pasar luar negeri, tetapi mereka menjual produk mereka kepada turis asing yang mengunjungi desa mereka atau yang sedang workshop. Hal itu dikatakan “pasar pembeli”-berorientasi UKM. Van Dierman (1997), Knorringa (1998), Cole (1998) dan Sandee dkk. (2000) menemukan bahwa dalam subsektor tertentu, kebanyakan UKM berorientasi ekspor dalam kelompok operasi dalam rantai komoditas yang menggerakkan pembeli. Pembelajaran mereka menunjukkan bagaimana mereka melakukan penetrasi pasar global melalui perdagangan yang menggerakkan pembeli.

Jaringan dalam kasus furniture dan garmen di Jakarta, garmen di Bali, dan furniture ukiran dari kayu di Jepara (Jawa Tengah). Pembelajaran mereka juga menunjukkan secara jelas bahwa orang asing yang datang ke Indonesia sebagai turis dan mengunjungi kelompok furniture di Jepara atau kelompok UKM garmen di Bali memainkan peranan penting dalam modernisasi metode dan kualitas produksi dari produk dalam kelompok tersebut dan menghubungkan mereka ke pasar internasional.

Secara singkat setelah krisis ekonomi pada tahun 1997, van Dierman dkk. (1998) percobaan untuk mengakses dampak dari perbaikan kebijakan perdagangan dan investasi asing terkait terhadap dukungan peraturan IMF dibawah Letter of Intent (LOI) pada UKM dalam industri pabrikasi di Indonesia. Ini menunjukkan ada kemungkinan bahwa variasi dampak dari subsektor atau kelompok industri. UKM dalam krisis awal lebih diproteksi dalam industri dipengaruhi menjadi kurang baik daripada yang kurang diproteksi. Bagaimanapun, penaksiran pembatasan yang cukup serius. Satu yang lebih penting adalah fakta bahwa ini berdasarkan data sekunder dan survei literatur pada perkembangan UKM dalam berbagai kelompok industri selama periode krisis. Tidak ada survei lapangan atau seluk-beluk wawancara yang dilaksanakan. kemudian, peningkatan biaya produksi dalam kaitannya dengan depresiasi besar pada rupiah, tidak menurunkan tarif proteksi, menjadi alasan untuk menutup banyak UKM di beberapa industri yang diobservasi selama periode tersebut.

Pembelajaran lainnya pada UKM di Indonesia mungkin meingindikasikan, secara tidak langsung, efek penting kebijakan makroekonomi melawan program didesain khusus pada UKM, mereka berkesimpulan bahwa kebanyakan perkembangan program UKM (e.g. tunjangan kredit, bermacam-macam program pelatihan, promosi perdagangan eksternal, dan rencana kontrak tambahan) tidak selalu sukses. Mereka berargumen bahwa kebijakan makroekonomi besahabat, termasuk kebijakan perdagangan (e.g. peraturan impor dan ekspor) sangat penting untuk pertumbuhan UKM. misalnya, berdasarkan analisisnya dari efek kebijakan lingkungan makro dan mikro pada industri pedesaan di Indonesia, van Dierman (2004: 53) menyatakan bahwa jumlah yang signifikan dari kebijakan makro seperti perdagangan (proteksi) kebijakan bagian biaya dan beban tambahan pada UKM pedesaan. Dia berargumen, oleh karena itu, kebijakan makro yang dibuat harus menguntungkan lingkungan ekonomi, yang digambarkan dengan tingkat pertumbuhan GDP yang tinggi secara konsisten, dan tidak menyimpang menuju ke large enterprises (LEs), memberikan perangsang terbaik untuk pertumbuhan UKM.

Seperti halnya liberalisasi perdagangan, liberalisasi investasi seharusnya juga mengambil pertimbangan apakah dampaknya (positif dan negatif) yang akan terjadi pada UKM. Secara teoritis, liberalisasi investasi mempengaruhi UKM dalam berbagai cara. Disisi positif, lingkungan investasi yang lebih baik menghasilkan banyak perusahaan baru atau/dan mendorong perusahaan yang sudah ada (termasuk UKM) untuk memperluas kapasitas produksi mereka.

Sayangnya, terkait dengan keterbatasan literatur eksklusif pada efek perbaikan kebijakan investasi pada UKM di Indonesia, sangat sulit untuk mengatakan bahwa apakah proses bertahap jangka panjang dari liberalisasi investasi, pertamanya dimulai dengan perkenalan hukum Investasi Asing Langsung pada tahun 1967 menandai permulaan dari keterbukaan terhadap FDI, dan mengikuti ‘real’ liberalisasi dengan perkenalan atas berbagai insentif untuk menarik FDI (termasuk banyak membuka sektor untuk FDI) dalam babak kedua dari tahun 1980an dan mencapai klimaks setelah krisis tahun 1997/98 dengan Perbaikan persetujuan IMF, menciptakan efek pelengkap atau efek persaingan bersih pada UKM lokal. Bagaimanapun, disana banyak kasus pembelajaran pada kontrak tambahan di Indonesia yang memberikan beberapa pandangan, dan kesimpulan utamanya pembelajaran tersebut bahwa seperti hubungan produksi tidak berkembang secara mulus meskipun liberalisasi investasi dan ini melekat kedalam banyak faktor: UKM lokal tidak dapat mencapai standar yang dibutuhkan atas kualitas terkait dengan mereka kekurangan teknologi dan keahlian, distorsi pasar, dan terindikasi masalah peringatan koordinasi, kurangnya konsistensi dan koheren dalam kebijakan, lingkungan bisnis yang belum berkembang, seperti informasi asimetri, lobi mencari-cari pinjaman, kesulitan untuk mengakses keuangan dan fasilitas teknologi.

FDI merupakan sumber penting dari transfer teknologi terhadap perusahaan lokal dalam Negara berkembang, mengusulkan bahwa liberalisasi investasi juga dapat bertindak sebagai perangsang untuk UKM lokal dari perspektif ini. Berdasarkan pembelajarannya pada peranan FDI yang dikatakan Newly Industrializing Countries (NICs) seperti Korea selatan, Taiwan, Hong Kong, dan Singapore, Soesastro (1998) menyatakan sebagai berikut: disana tidak diragukan bahwa FDI memainkan peranan penting dalam aliran lintas-batas, transfer dan difusi teknologi. Cerita dari aliran teknologi di wilayah Asia-Pasifik dipusatkan pada gelombang dramatis dalam FDI, khususnya perkembangan ekonomi di Asia timur. Umumnya dipercaya bahwa FDI membawa banyak perkembangan teknologi daripada hungan alternatif. Ini khususnya pada kasus MNCs, karena mereka memainkan peranan dominan dalam generasi teknologi dan biasanya terkait secara teknologi atas produk yang kompleks. Ini juga didukung oleh banyak evaluasi pembelajaran transfer atau mecurahkan teknologi dari FDI di Indonesia, lebih dulu tidak secara nyata pada UKM lokal. Misalnya, dengan menggunakan data cross-sectional, Sjőholm (1999a,b) menemukan curahan positif dari FDI dalam industri pabrikasi Indonesia. Soesastro (1998) juga berkesimpulan yang sama: pola dari menuju aliran teknologi untuk Indonesia terlihat mendominasi dengan menggunakan FDI sebagai hubungan utama untuk akuisisi teknologi. Dalam beberapa pengertian pada Negaranya secara tidak langsung ’kebijakan teknologi’, dan sikap menguntungkan pemerintah menuju FDI sebagai dasar untuk memperluas perjanjian teknologi yang akan dibawa kedalam bagian dari paket investasi.

No comments:

Post a Comment